Judul: I SAW RAMALLAH (Akhirnya Kulihat Ramallah) Penulis: Mourid Barghouti Pengantar: Edward W. Said Penerjemah: Khairil Azhar Penerbit: Pu...
Judul: I SAW RAMALLAH (Akhirnya Kulihat Ramallah)
Penulis: Mourid Barghouti
Pengantar: Edward W. Said
Penerjemah: Khairil Azhar
Penerbit: Pustaka Alvabet
Terbit: Februari 2006
Tebal: 268 hlm
Mourid Barghouti lahir di Tepi Barat pada tahun 1944 dan menyelesaikan pendidikan di Universitas Kairo tahun 1967 untuk jurusan Sastra Inggris.
Pernah mengajar bahasa Inggris untuk mahasiswa jurusan Hukum di Mesir. Puisi-puisinya diterbitkan di Beirut, Amman, dan Kairo. Kumpulan puisi pertamanya diterbitkan pada Januari 1972 oleh penerbit masyhur di Beirut, Dar al-‘Awda. Dua tahun kemudian, Januari 1980, kumpulan puisinya Qasa’id al Rasif menyusul terbit.
Buku aslinya yang ditulis dalam bahasa Arab Ra’aytu Ramallah ini telah memasuki cetakan keempat sejak diterbitkan pertama kali tahun 1997. Selain diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, buku ini juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Spanyol dan Belanda. Sedangkan terjemahannya dalam bahasa Italia sedang dalam proses terbit Dia kini tinggal di Kairo.
Ahdaf Soueif lahir di Kairo dan menempuh pendidikan di Mesir dan Inggris. Dia mengerang novel In the Eye of the Sun dan The Map of Love. Di samping itu juga terdapat kumpulan cerita pendeknya, Aisha dan Sandpiper.
Edward W. Said adalah Professor Bahasa Inggris dan Perbandingan Sastra pada Universitas Columbia. Dia telah menulis lebih dari dua puluh buku, diantarannya Orientalism, Culture and Imperialism, dan sebuah memoar, Out of Place.
Khairil Azhar adalah pengajar Bahasa Inggris dan penerjemah lepas; alumnus Fakultas Syari’ah IAIN (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1999.
***
Kata Pengantar
NARASI YANG PADAT DAN TERAMAT LIRIS INI, tentang kepulangan seorang Palestina dari pengasingan berkepanjangan di luar negeri ke Ramallah di Tepi Barat, pada musim panas tahun 1996, merupakan salah satu catatan eksistensial terbaik yang pernah ada mengenai keterusiran orang Palestina dari tanah air mereka sendiri.
Narasi ini ditulis oleh Mourid Barghouti, seorang penyair Palestina termasyhur, yang menikah dengan Radwa Ashour, seorang akademisi dan novelis Mesir terkemuka. Keduanya pernah sama-sama menjadi mahasiswa jurusan Sastra Inggris di Universitas Kairo pada tahun 1960-an, dan sepanjang pernikahan itu mereka pernah hidup terpisah selama tujuh belas tahun, ketika Barghouti menjabat wakil PLO di Budapest, sedangkan Ashour yang menjadi professor Bahasa Inggris di Universitas Ain Shams, tinggal di Kairo dengan putra mereka, Tamim. Berbagai alasan politik yang melatari keterpisahan itu dikisahkan dalam buku I Saw Ramallah ini, selain tentu saja berbagai situasi yang menyebabkan keterbuangannya dari Tepi Barat, serta kepulangannya tiga puluh tahun kemudian.
Ketika terbit pada tahun 1997, buku ini disambut masyarakat luas dengan penuh antusias di seluruh dunia Arab, bahkan kemudian memenangkan Penghargaan Naguib Mahfouz untuk kesusasteraan. Buku yang berjudul asli Ra’aitu Ramallah ini kemudian diterjemahkan oleh Ahdaf Soueif dalam Bahasa Inggris yang elegan dan menyentuh. Ahdaf Soueif sendiri merupakan seorang novelis dan kritikus sastra Mesir terkemuka; karya-karyanya juga telah diterbitkan dalam Bahasa Inggris (terutama In the Eye of the Sun dan The Map of Love). Oleh karena itu, buku ini dalam Bahasa Inggris menjadi suatu karya sastra yang penting hasil perpaduan dua sastrawan penuh bakat. Saya berbahagia bisa memberikan sedikit kata pengantar mengenai karya ini.
Setelah saya sendiri melakukan perjalanan serupa ke Jerusalem (setelah tercerai selama empat puluh lima tahun), saya sangat memahami campuraduknya emosi—gembira, tentu saja, sesal, sedih, terkejut, marah, serta berbagai perasaan lain—yang mengiringi kepulangan semacam ini. Kebaruan dan kekuatan besar dari buku Barghouti adalah perekaman urutan peristiwa secara seksama, dan kejernihan dalam melukiskan kecamuk berbagai rasa dan pikiran yang melanda seseorang di saat seperti ini.
Palestina sendiri bukanlah sekadar sebuah tempat biasa. Negeri ini larut dalam semua sejarah dan tradisi monoteisme yang ada, dan telah menyaksikan bermacam rupa penakluk dan peradaban datang silih berganti. Selama abad kedua puluh, Palestina telah menjadi wilayah perseteruan yang tak kunjung padam antara para penghuni asli Arab, yang secara tragis dizalimi dan kebanyakan dari mereka tercerai-berai pada tahun 1948, dan Gerakan politik orang-orang Yahudi Zionis yang masuk, sebagian besar berasal dari Eropa, mendirikan negara Yahudi di sana, dan, pada tahun 1967 merampas Tepi Barat dan Gaza, yang sampai kini nyatanya masih dikuasai. Karenanya, setiap orang Palestina hari ini secara ganjil mengetahui bahwa pernah ada sebuah wilayah bernama Palestina tetapi melihat wilayah itu telah berganti nama baru, penduduk baru, dan identitas baru yang sama sekali menafikan Palestina. Sehingga, sebuah ‘pulang’ ke Palestina pun merupakan peristiwa yang ganjil, dan juga mencemaskan.
Narasi Barghouti bisa dikata dimungkinkan oleh adanya ‘proses perdamaian,’ penamaan yang sangat tidak tepat, antara PLO yang dipimpin oleh Yasser Arafat dan negara Israel. Dimulai pada September 1993 dan tak kunjung terselesaikan ketika saya menulis kata pengantar ini (pada awal Agustus 2000), kesepakatan yang diprakarsai oleh Amerika Serikat ini sama sekali tidak memberikan kedaulatan nyata bagi orang Palestina di Gaza dan Tepi Barat ataupun menghadirkan perdamaian dan rekonsiliasi antara orang-orang Yahudi dan Arab. Meskipun demikian, pengaturan ini memungkinkan kembalinya sebagian orang Palestina yang berasal dari wilayah-wilayah yang dicaplok Israel tahun 1967 ke tanah air mereka, dan fakta menggembira kan inilah yang memicu terlahirnya bagian-bagian di perbatasan yang mengawali buku I Saw Ramallah. Ironi yang cepat ditemukan Barghouti adalah, meskipun terdapat para petugas Palestina di jembatan Sungai Yordania yang memisahkan Kerajaan Hasyimiyyah (Yordania) dan Palestina, tentara Israel-lah, baik laki-laki maupun perempuan, yang berwewenang disana. Seperti yang dicatatnya dengan singkat dan tepat, “orang lain masih menjadi tuan di tanah ini.”
Meskipun Barghouti berasal dari Tepi Barat dan bisa berkunjung sebagaimana di tuturkannya dengan fasih di sini, mayoritas orang Palestina yang sangat banyak (mencapai kira-kira 3,5 juta) masih menjadi pengungsi, yakni mereka yang berasal dari daerah yang dicaplok Israel tahun 1948 sehingga tak bisa kembali dalam situasi saat ini.
Tak pelak lagi, banyak perihal politik yang terdapat dalam buku Barghouti, namun tak satu pun tuturan itu bersifat abstrak atau beralasan ideologis: apa saja tentang politik berasal dari keadaan yang dihidupi dalam kehidupan orang Palestina, yang seringkali dikelilingi pelbagai pembatasan yang menyangkut perjalanan dan tempat hunian. Kedua hal yang bertautan ini—yang begitu niscaya bagi banyak orang di dunia, mereka yang berkewarganegaraan, memiliki paspor, dan bisa bepergian tanpa mesti memikirkan setiap saat siapa mereka—sangatlah diperkarakan bagi orang-orang Palestina yang tak punya negara, meskipun banyak yang benar-benar memiliki paspor, sebagaimana halnya jutaan pengungsi di seluruh dunia Arab, Eropa, Australia, Amerika Utara dan Selatan. Orang-orang Palestina, dalam hal ini, masih menanggungkan nasib sebagai orang terusir, dan karenanya tercerabut dari tempat.
Maka akibatnya tulisan Barghouti pun menjalin pelbagai masalah; di mana dia bisa tinggal dan yang tidak, ke mana dia boleh pergi dan yang tidak, berapa lama dan dalam keadaan bagaimana dia harus pergi, dan terutama, apa yang terjadi ketika dia tidak ada di sana. Saudara laki-lakinya, Mounif, meninggal sia-sia dan kejam di Prancis karena tak seorang pun yang bisa (atau ingin) menjangkau dan membantunya. Budayawan-budayawan terkemuka, seperti novelis Ghassan Kanafani dan kartunis Naji al-‘Ali yang terbunuh, menghantui sepanjang buku ini, sebagai pengingat bahwa betapa pun orang-orang Palestina dianugerahi bakat dan kemampuan artistik, mereka tetap menjadi korban kematian tiba-tiba atau hilang tak tentu rimbanya. Hal ini juga yang menjadikan buku ini sarat dukacita, bernada muram, namun tetap punya keriangan dan perayaan dibanyak tempat.
Yang menjadikan buku ini memiliki otentisitas yang tak bisa disangkal lagi adalah tekstur puitisnya yang menegaskan kehidupan. Tulisan Barghouti secara sangat mengagumkan terbebas dari kebencian ataupun tuduhan; ia tak mengumbar amarah dan menceramahi orang-orang Israel atas perbuatan mereka, ataupun mencaci-maki kepemimpinan Palestina atas persetujuan mereka terhadap pelbagai kesepakatan aneh-aneh mengenai tanah Palestina.
Tentu sangat tepat ketika ia mencatat beberapa kali bahwa pemukiman-pemukiman Yahudi yang dibangun menodai (dan biasanya merusak) undakundakan lanskap Palestina yang bergunung banyak, tetapi cuma ini yang dilakukannya, selain menambahkan catatan tentang fakta tak menyenangkan yang harus dihadapi para pencipta perdamaian, khusus nya karena tempat-tempat seperti Ramallah dan Deir Ghassanah sangat khas dan tak lekang sebagai Palestina. Ketika menggali etimologi nama keluarganya, Barghouti menampilkan ironi tersendiri. (Meskipun saya tidak memiliki informasi yang pasti tentang hal ini, saya kira keluarga Barghouti merupakan satu-satunya keluarga Palestina terbesar, dengan perkiraan jumlah mencapai 25.000 orang) Apapun pendapat-pendapat lain yang beredar di tengah masyarakat tentang etimologi nama keluarga ‘Barghouti’, yang biasanya cenderung bernada memuji atau mengagungkan, ia tak mengingkari fakta bahwa tampaknya nama itu berasal dari kata Bahasa Arab yang berarti ‘kutu,’ dan detail yang rendah hati ini, secara aneh, memberikan kemanusiaan dan keperihan yang lebih ke dalam narasinya.
Buku I Saw Ramallah ini beroleh keistimewaan, sebab merupakan sebuah catatan tentang kehilangan dalam sebuah pulang dan reuni. Penolakan dan perlawanan Barghouti yang luas terhadap berbagai sebab kehilangan inilah yang memberikan substansi bagi puisi-puisinya serta senyawa positif bagi narasinya. “Pendudukan,” kata Barghouti, “telah menciptakan banyak generasi kami yang mesti memuja kekasih tak dikenal: jauh, sulit, dikelilingi penjaga-penjaga, dinding-dinding, peluru-peluru nuklir, terror belaka.” Maka dalam-puisi-puisinya dan prosa yang melengkapi kepulangannya ini, Barghouti berusaha meruntuhkan dinding-dinding itu, menghindari para penjaganya, mencari jalan ke Palestina miliknya, yang ia temukan di Ramallah. Dulunya sebuah pemukiman yang penuh taman dan tenang di pinggir kota perkotaan di Palestina, akhir-akhir ini Ramallah telah menjadi pusat kehidupan perkotaan di Palestina.. Ramallah relatif memiliki otorita, aktivitas budaya yang cukup jumlahnya, dan populasi yang meningkat pesat. Di Ramallah yang baru mekar dan ditemukan kembali inilah, Barghouti, sang penulis Palestina dalam pengasingan dan tercerabut, menemukan kembali dirinya secara baru—menemukan dirinya terus-menerus dalam bentuk bentuk baru keterbuangan diri. “Cukuplah bagi seseorang mengalami ketercerabutan yang pertama, untuk menjadi tercerabut selamanya.” Sehingga, meskipun ada pula tuturan rasa dan momen-momen kegembiraan dalam perjalanan pulang, narasi ini pada akhirnya lebih mengisahkan tentang pelakonan ulang pengasingan ketimbang kepulangan yang sebenarnya. Inilah yang memberikan narasi ini dimensi tragis sekaligus kerumitan yang menarik.
Terjemahan Ahdaf Soueif yang teramat baik, dengan tepat menghadirkan nuansa istimewa ini bagi pembaca berbahasa Inggris. Pengalaman orang Palestina pun menjadi manusiawi dan beroleh substansi dalam cara yang baru.
Edward W. Said
***
Link download:
COMMENTS