Mengenang Kemenangan: Afghanistan sebagai Contoh Perjuangan Islam Oleh: Abdurrahman Asy-Syarif بسم الله الرحمن الرحيم Momen mundurnya tenta...
Mengenang Kemenangan: Afghanistan sebagai Contoh Perjuangan Islam
Oleh: Abdurrahman Asy-Syarif
بسم الله الرحمن الرحيم
Momen mundurnya tentara Amerika yang terakhir dari bandara Kabul bukan sekadar adegan yang lewat dalam ingatan bangsa-bangsa; itu adalah lembaran baru yang ditulis dengan tinta jihad, kesabaran, dan perjuangan — sebuah bukti nyata bahwa umat masih bernyawa, dan bahwa Islam mampu menjadi dasar pemerintahan, pembangunan, dan tata kelola negara tanpa meniru pengalaman bangsa-bangsa yang gagal atau tunduk pada kehendak kekuatan tirani.
Afghanistan bukan sekedar negeri yang mengusir penjajah; hari ini ia tampil sebagai model Islami yang paling jelas dan berani di zaman modern: perjuangan tanpa kompromi, pemerintahan tanpa perubahan ideologi, kebangkitan tanpa kekufuran, dan kesetiaan terhadap aqidah tanpa penyimpangan.
Barat bermaksud menjadikan Afghanistan semacam laboratorium untuk membentuk kembali identitas umat: mereka bawa klaim demokrasi, globalisasi yang merusak, dan proyek-proyek pembangunan ala Barat yang sarat riba, kebebasan moral, kesetaraan gender, sekularisasi, serta pelecehan terhadap syariat. Tetapi mereka terkejut ketika mengetahui bahwa tanah ini berbeda; ketika penduduknya melangkah di jalan jihad, mereka tidak mundur dan tidak berkompromi.
Selama 20 tahun, Imarah Islam melawan penjajah Amerika; mereka tidak terjerumus ke dalam konflik sektarian, tidak tergoda oleh perjanjian damai yang palsu, tidak ikut dalam hiruk-pikuk pemilu atau perebutan kursi kekuasaan. Mereka teguh pada baiat yang sah, panji yang jelas, dan tujuan sejak hari-hari pertama: mengusir penjajah dan menegakkan hukum Allah di muka bumi.
Ketika Allah memberi kemenangan dan menaklukkan Kabul, dunia menyaksikan pemandangan yang jarang terjadi dalam sejarah kontemporer: ibu kota diambil alih tanpa kekacauan, tanpa pertumpahan darah, tanpa balas dendam atau penyelesaian hitung-hitungan. Sebaliknya, terbit pidato nasional yang menegaskan pengampunan, keyakinan total pada janji Allah, dan keteguhan yang tidak tergoyahkan pada proyek Islami yang kaffah.
Kabul bukan tujuan akhir; ia permulaan perjuangan.
Sejak hari itu bergulir bab pembangunan negara Islam kontemporer yang dijalankan berdasarkan syariat, dikelola dengan hikmah, dan dibangun atas kerja keras rakyatnya sendiri — bukan bergantung pada bantuan penjajah.
Di bidang keamanan, Afghanistan berubah dari kawasan yang liar dan ganas karena jaringan agen penjajah, menjadi salah satu negara paling stabil dan aman di Asia. Penghalang dihapus, pasar kembali hidup, perempuan bergerak di jalan tanpa takut bom atau penangkapan — setelah negeri ini dibersihkan dari kekacauan keamanan yang ditanam intelijen Barat. Senjata kelompok-kelompok dikumpulkan, perbatasan dijaga, dan wibawa negara ditegakkan dengan keseimbangan antara ketegasan dan keadilan.
Di sektor ekonomi, Imarah mengejutkan musuhnya bahkan sebelum mengejutkan para pengikutnya: mengandalkan sumber daya sendiri, membangun basis produksi domestik. Puluhan proyek pertanian dan industri diluncurkan; tercapai kemandirian di sektor-sektor penting seperti semen, baja, kismis, dan suku cadang. Proyek-proyek strategis pembangkit listrik direncanakan hingga kapasitas 10.000 MW, ekspor dimulai ke lebih dari seratus negara, dan pasar dibuka untuk perdagangan yang bersih dengan tetangga — tanpa riba, tanpa ketergantungan, melainkan kontrak-kontrak yang sesuai prinsip fiqh mu‘āmalāt.
Di sektor pemerintahan, Imarah memerangi korupsi yang merusak rezim sebelumnya: menghapus pegawai fiktif, menegakkan disiplin birokrasi, memangkas pemborosan, menerapkan prinsip kompetensi bukan kroni, menjadikan loyalitas kepada syariat bukan kepada suku. Meski didera blokade finansial berat, negara tetap berdiri: mampu membayar gaji pegawai, membiayai proyek, dan memberikan layanan publik tanpa mengemis atau menghinakan diri.
Dalam sektor politik luar negeri, Imarah berhasil membangun jaringan hubungan seimbang dengan sejumlah negara — termasuk China, Rusia, Kazakhstan, Turki, dan Qatar — tanpa mengorbankan syariat atau terjerat aliansi yang merugikan. Meski belum mendapat pengakuan PBB, keberadaan dan ketangguhan mereka memaksa banyak pihak mengakui kemampuan bertahan dan stabilitas yang nyata.
Mereka tidak berkiblat pada nilai-nilai globalisasi, tidak membuka kedutaan bagi musuh, dan tidak menukar pengakuan dengan merombak kurikulum, membuka pintu kesetaraan gender, atau memberi ruang bagi para sekuler. Yang ditakuti Barat kini bukan masa lalu Taliban, melainkan realitas Afghanistan hari ini: sebuah negara yang stabil, maju, dan berkelanjutan.
Barat melihat Afghanistan bukan sebagai sekedar gerakan garis keras, melainkan sebagai sebuah proyek negara yang utuh dan dapat ditiru — sebuah pengalaman Islam yang matang yang mampu membangun tanpa mengorbankan identitasnya. Mereka khawatir Afghanistan menjadi kiblat bagi siapa pun yang ingin menegakkan hukum Allah tanpa kekacauan, tanpa ketergantungan.
Mereka takut pengalaman ini diajarkan, diteladani, dan ditiru di tempat lain — sehingga runtuhlah monopoli gagasan negara modern ala mereka dan terungkap kebohongan “modernitas kemasan” yang diekspor ke dunia Islam.
Afghanistan hari ini adalah contoh paling nyata dari pengalaman Islam: memadukan kemurnian aqidah, kedewasaan politik, kecakapan administratif, tangan yang cakap, keadilan keamanan, kemandirian keputusan, dan keteguhan identitas.
Saatnya bagi umat memahami bahwa model inilah jalan yang benar — bukan praktik-praktik wah yang tampak di ibu-kota yang tunduk: gedung kedutaan musuh, pasar amoral, undang-undang yang meruntuhkan nilai, pendidikan yang asing dari identitas, dan pelecehan syariat atas nama pembangunan serta kebebasan.
Apa yang terjadi di Afghanistan bukan akhir perjuangan, melainkan awal lembaran baru bagi umat: fase yang menyatakan kepada dunia — ya, Islam bisa berkuasa lagi; ya, umat bisa bangkit tanpa melepaskan agama; ya, negara Muslim dapat mandiri, aman, produktif, dan berpengaruh jika dibangun dengan keikhlasan kepada Allah, kesetiaan pada aqidah, tawakkal, dan kerja keras. Kemenangan adalah milik Allah semata.
Berdiri bersama Afghanistan hari ini bukan sekadar empati kepada negeri Muslim yang baru saja keluar dari perang panjang, atau nostalgia atas luka perang masa lalu. Ia adalah sikap strategis dan sah secara syariat, karena yang kini dibangun di Kabul bukan sekadar rezim nasional, melainkan model Islam kaffah yang jarang ditemui dan sangat berpengaruh pada kesadaran serta masa depan umat.
Yang membuat geram musuh saat ini bukan jenggot, bukan bendera, bukan sejarah — melainkan kemampuan luar biasa negeri itu mencapai stabilitas, pengelolaan, dan pembangunan berlandaskan syariat, tanpa menyerah pada asing, dan tanpa mengemis.
Mendukung Afghanistan kini berarti mendukung model yang mungkin ditiru di negeri-negeri lain: bukti bahwa Islam masih relevan untuk pemerintahan; bahwa syariat sanggup mewujudkan keadilan, keamanan, ekonomi, dan hubungan internasional tanpa harus terpaksa meniru Barat. Ini adalah pembelaan atas hak umat untuk berdaulat berdasarkan agamanya — pembelaan terhadap pengalaman perjuangan sejati yang lahir bukan dari kotak suara atau sponsor Barat, melainkan dari kesabaran para mujahid, keteguhan para ulama, dan amal orang-orang ikhlas yang yakin bahwa penegakkan syariat tidaklah dibangun melalui PBB, melainkan melalui jihad, kesabaran, doa, dan amal.
Tekanan ekonomi, pencemaran citra, dan isolasi politik yang dikenakan sekarang tak hanya menyerang Imarah semata; ia bertujuan mematahkan harapan umat agar tak meneladani pengalaman ini.
Allah Mahaperkasa atas urusan-Nya, namun kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.
Majalah Ash Shumud, Imarah Islam Afghanistan, edisi 237.
https://www.alsomood.af/%d8%b0%d9%83%d9%80%d8%b1%d9%89-%d8%a7%d9%84%d9%81%d9%80%d8%aa%d9%80%d8%ad/
COMMENTS