Kenangan Seorang Mantan Tahanan Penjara Baghram Pengantar Setelah operasi militer besar-besaran di Afghanistan, Amerika Serikat membangun se...
Kenangan Seorang Mantan Tahanan Penjara Baghram
Pengantar
Setelah operasi militer besar-besaran di Afghanistan, Amerika Serikat membangun sejumlah penjara untuk menahan orang-orang yang mereka sebut “teroris”, khususnya anggota Imarah Islam. Di antara yang paling terkenal adalah Penjara Baghram, terletak sekitar 50 kilometer di utara ibu kota Kabul. Penjara ini didirikan oleh Amerika pada tahun 2002 di dalam Pangkalan Udara Baghram, dan terdiri dari 120 sel.
Penjara ini –yang dikelola oleh Badan Intelijen Pusat Amerika (CIA)– telah menjadi saksi bisu ribuan warga Afghanistan ditahan, baik yang merupakan anggota Imarah Islam maupun para simpatisannya, dengan berbagai tuduhan. Mereka diperlakukan dengan interogasi kejam dan penyiksaan dengan berbagai cara, hingga penjara ini dijuluki sebagai “Guantanamo-nya Afghanistan”.
Berikut adalah kenangan salah seorang tahanan dari sel-sel gelap itu. Ia menceritakan pengalaman yang menggambarkan pada kita –dan pada dunia– tentang kebohongan demokrasi dan hak asasi manusia yang selalu dikumandangkan dan dipromosikan oleh para pemimpin Barat.
Kisah Tahanan di Baghram
Perawi: Shaddam Bahir
Penangkapan:
Seperti biasa, aku pulang menjelang maghrib dengan terlambat. Badanku sangat lelah. Aku meletakkan tas dan buku di samping, tanpa selera makan sama sekali. Mengajar juga membuat kepalaku pusing. Dua adikku yang lebih muda juga kebetulan ada di Kabul. Malam itu aku menunaikan shalat Isya dengan hati yang agak sedih.
Aku mendapat kabar tentang seorang sahabat lamaku di medan pertempuran, bahwa ia telah ditangkap di Provinsi Mazar. Saat itu mereka telah melancarkan operasi istisyhadiyah (serangan syahid) terhadap barak militer di provinsi tersebut. Semua pelaku operasi gugur syahid, hanya Mu’adz yang selamat, namun ia ditawan dan ditangkap. Mu’adz berasal dari pusat Provinsi Laghman.
Malam itu musim dingin, udara sangat dingin. Aku berbaring di samping kursi pemanas (semacam ranjang tradisional dengan tungku pemanas di bawahnya yang biasa digunakan di musim dingin di daerah pegunungan Afghanistan). Beberapa menit kemudian, kantuk menguasai mataku. Aku bermimpi seolah pasukan komando menyerbu kamarku, mengepungnya, lalu salah seorang dari mereka menendang pintu kaca dengan keras.
Tiba-tiba, aku terbangun oleh suara ketukan pintu rumah di dunia nyata. Saat tersadar, aku benar-benar telah terkepung. Petugas keamanan masuk ke kamarku dengan cepat, berdiri di atasku, menarik rambutku, lalu menyeretku ke arah pintu. Ada lima atau enam tentara yang bergantian menyeret dan menamparku. Mereka memaksaku berdiri di luar rumah dalam cuaca dingin yang menusuk.
Aku melihat ayahku menatapku dengan kebingungan. Wajahnya penuh kesedihan dan ketakutan. Ia tidak sanggup menyaksikan perlakuan brutal mereka kepadaku. Untungnya mereka segera menjauhkan aku dari pandangan ayahku. Setelah itu mereka membawa ponselku dan bertanya: “Ponsel ini milik siapa?”
Aku menjawab: “Milikku.”
Seorang perwira lalu berkata: “Target sudah dicapai.”
Mereka langsung menutup mataku. Dua orang memegang bahuku sambil berkata dengan nada mengejek: “Oh, orang Afghan ini membangunkan kami di tengah malam…”
Aku diam saja dan berjalan mengikuti mereka. Tanganku diborgol sangat kencang sehingga sulit sekali melangkah (mata ditutup). Para petugas keamanan itu mempermainkanku, menakut-nakuti dengan berkata: “Hati-hati, di depanmu ada air, angkat kakimu!” Lalu mereka tertawa puas melihat kebingunganku.
Ketika sampai di mobil, aku tidak tahu bagaimana cara naik. Saat aku mencoba mengangkat kaki, salah satu dari mereka menendangku dari belakang hingga aku jatuh ke lantai mobil. Seorang tentara marah dan memaki rekannya: “Orang ini seorang ulama!”
Keduanya lalu berselisih tentang hal itu. Tentara yang membelaku berusaha menenangkanku hingga akhir perjalanan. Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan, tampaknya ia masih memiliki rasa harga diri sebagai orang Afghan.
Ketika kami tiba di Direktorat 01, jam sudah menunjukkan pukul 01:30 dini hari. Mereka membangunkan jaksa penuntut umum. Ia bangun sambil menggerutu, marah besar, seperti anjing yang menyalak. Mataku masih tertutup kain hitam. Sejak awal ia langsung menamparku, lalu berkata kepada seorang prajurit: “Bawa dia, kita akan menginterogasinya besok pagi.”
Borgol plastik telah membuat kedua tanganku berdarah. Mereka membawaku ke sebuah ruangan yang hanya ada kursi. Tidak mungkin tidur di atas kursi. Aku pun duduk di situ. Di depanku ada pemanas listrik buatan Jepang. Gelang borgol plastik makin menekan pergelangan tanganku. Aku menyandarkan kepala di sudut kursi, gelisah menanti masa depan yang pahit. Cahaya redup masuk dari jendela.
Aku berkata kepada tentara: “Aku ingin shalat.”
Ia pergi meminta izin. Ketika kembali, ia berkata bahwa komandan tidak mengizinkan. Aku pun menunggu lebih lama. Mungkin matahari sudah terbit. Tiba-tiba seseorang masuk ke ruangan, lalu menyuruh tentara menutup mataku. Dengan wajah marah, tentara itu menarik plastik hitam menutupi kepalaku. Tanpa bicara panjang, ia bertanya: “Apakah kamu melawan kami?”
Tamparan sebelumnya masih terasa di wajahku, lalu ia menamparku lagi. Setelah itu mereka meninggalkanku. Teman yang ditangkap bersamaku dipukuli sampai hidungnya berdarah. Tentara lain berkata: “Cukup.”
Jaksa berbalik dan berkata: “Mari kita minum teh dulu.”
Mereka keluar, meninggalkan kami di ruangan. Kami seperti anak yatim yang menunggu sepotong makanan. Bedanya, anak yatim masih bisa menikmati makanan dengan lahap, sementara kami sama sekali tidak berdaya.
Di Ruang Interogasi
Terdengar pintu besi dibuka. Seorang pria berjenggot masuk. Sejenak aku merasa lega, berharap ia lebih lembut. Tapi dugaanku salah. Ia begitu kejam hingga aku mengira ia seorang Zionis. Ia berdiri di hadapanku, menamparku berulang kali, lalu menendang wajahku hingga bekas sepatunya tertinggal di pipiku. Aku terjatuh dari kursi.
Tanganku perih. Borgol plastik mencengkeram erat. Aku berkata: “Tanganku sakit.”
Namun ia malah menendang tanganku lagi, lalu memerintahkan prajurit mengangkatku dari lantai. Tentara itu mengangkatku sambil memegang bahu. Karena sakit, aku hanya bisa memberi isyarat agar borgol dilepas. Dengan pisaunya, tentara itu memotong borgol plastik. Tubuhku langsung terasa lega.
Tak lama, jaksa masuk lagi, mencatat nama kami, lalu pergi.
Seorang tentara bertanya: “Mau sarapan roti mentega atau telur?”
Kami menjawab: “Terserah.”
Ia tertawa, lalu berkata: “Tunggu.”
Beberapa saat kemudian, mereka membawaku dengan kendaraan militer menuju Baghram. Sunyi. Yang terdengar hanya suara anjing menggonggong di kejauhan.
Di Penjara Baghram
Sesampainya di sana, kami ditempatkan di sebuah ruangan tertutup. Ketika penutup mata dibuka, ternyata di depan kami ada orang-orang Amerika. Pertama-tama, mereka mengambil sidik jari biometrik, mencukur rambut kami, dan melepas borgol.
Kami ditempatkan di sel berukuran dua meter. Aneh sekali, di ruang sempit itu kami harus tidur, makan, berwudhu, buang hajat, dan shalat. Lebih aneh lagi, mereka memasang kamera pengawas di dalamnya. Rasa malu bercampur terhina.
Baghram adalah saksi kengerian dan kebrutalan yang membuat kemanusiaan sendiri merasa malu. Gelap gulita membuat kami tak bisa membedakan siang dan malam. Sel begitu sempit, hanya ada dua lampu besar. Aku tertidur dalam dunia yang sepi dan sunyi.
Siang hari, seorang tentara datang membawa makan siang: nasi, sepotong roti kering, dan sedikit kacang fava. Aku sulit menelannya. Kekhawatiran memenuhi benakku, sebab salah satu temanku masih diburu lewat ponselnya.
Aku berwudhu setelah makan, lalu shalat Subuh secara qadha. Tak lama, tentara kembali, menutup mataku, memborgol kakiku, dan mendorongku dengan kursi roda ke arah yang tak kuketahui.
Setelah berjalan lima menit, kami tiba di ruangan sunyi. Mataku dibuka, tanganku dilepas, tapi kakiku masih terikat. Seorang pria berjas masuk dengan sopan, lalu berkata: “Ceritakan bagaimana penangkapanmu.”
Aku menjawab: “Apakah aku manusia?”
Ia menjawab: “Ya, tentu.”
Aku berkata: “Tapi mereka memperlakukanku tidak seperti manusia. Terima kasih sudah mengakuiku manusia, tapi orang-orang yang kau kirim tidak punya sedikit pun rasa kemanusiaan.”
Ia tertawa sinis: “Kalau kau jujur, tak masalah. Kalau bohong, kau akan melihat ‘perlakuan’ kami. Jadi, apa yang kau lakukan?”
Aku menjawab: “Tidak melakukan apa-apa.”
Wajahnya memerah, menunduk, lalu berkata: “Kau sudah membuatku marah sejak awal.”
Saat itu aku mendengar jeritan dari ruangan sebelah, seorang tahanan lain sedang dipukuli. Jaksa berkata: “Kau dengar itu? Kalau mau, suaramu pun bisa terdengar begitu.”
Tak lama, seorang pria besar berwajah merah masuk, berdiri di depanku.
“Duduk dengan sopan!”
Aku menjawab: “Aku sudah duduk dengan benar, kecuali kalau kau sedang cari alasan untuk memukul.”
Ia berkata: “Ruangan ini bukan untuk memukul. Bawa dia ke ruangan lain. Dia kira ini rumah bibinya.”
Seorang prajurit bernama Karim membawaku ke ruangan lain.
“Sekarang katakan, apa yang kau lakukan?”
Aku menjawab: “Tidak ada.”
Mereka langsung menyetrumku dengan listrik. Rasanya sangat menyakitkan. Lalu ia mencekik leherku, menendang perutku berkali-kali. Aku terjatuh. Kursi dijadikan alat pemukul ke punggungku, sampai aku hampir pingsan. Mereka memberiku air, lalu kembali duduk.
Ia menarik jenggotku yang baru tumbuh: “Kau tahu siapa aku? Kenal aku?”
Aku menggeleng. Ia menamparku keras, lalu memanggil Karim: “Bawa dia! Besok aku akan mengenalkannya sendiri siapa diriku.”
Karim menutup kepalaku dengan karung hitam, mendorong kursi roda, lalu membawaku kembali ke sel. Di sana aku hanya bisa bicara kepada dinding bata. Aku shalat Zuhur, lalu berdoa dengan air mata.
Aku melihat mushaf Al-Qur’an terletak di bawah lemari, di atas gelas air. Hatinya lebih kelam dari sel itu. Padahal di penjara inilah, orang asing pernah membakar Al-Qur’an, disaksikan pegawai lokal. Aku tak tega membiarkan mushaf di bawah kakiku, lalu kutaruh di bantal. Aku ambil benang dari sajadah, lalu kugantung mushaf di sisi pintu sel.
Kami sangat gelisah tiap kali hendak buang hajat, sebab mushaf ada di depan kami dan kamera di atas kepala kami. Rasa malu menghantui, tapi kami tak berdaya.
Malam demi malam, aku memandang dua lampu di atas kepalaku. Tak tahu mana siang, mana malam. Setelah Isya aku mencoba tidur, tapi dua malam sebelumnya aku belum benar-benar tidur. Saat fajar, azan berkumandang dari penjara besar di kejauhan. Setelah Subuh, mereka memberiku teh dalam gelas plastik tipis, entah mungkin sudah dipakai berbulan-bulan. Tehnya dingin, ditemani sebutir telur rebus yang tak sanggup kutelan.
Lalu seperti biasa, seorang tentara datang menjemputku ke ruang interogasi. Kali ini semua alat penyiksaan sudah disiapkan. Satu per satu petugas bergiliran memukul. Salah satunya—dikenal sebagai “dokter”—melepas jaketnya dan berkata: “Hari ini aku belum sempat latihan.”
Seolah aku hanyalah samsak tinju baginya.
Setelah sekian lama dipukuli, seorang tentara Amerika masuk. Ia marah besar pada para interogator Afghan: “Cara interogasi seperti ini tidak bisa diterima!”
Semua keluar, hanya tinggal dia dan penerjemah. Ia menatapku penuh iba, lalu memanggil tentara Afghan kembali, menyuruh mereka melepaskan belenggu kakiku. Mereka malu melakukannya. Ia bahkan memberiku cokelat dan teh, serta mengobati lukaku.
Aku tertegun: betapa jauhnya perbedaan perlakuan antara "Muslim" dan kafir terhadap tahanan.
Namun setelah ia keluar, para perwira Afghan masuk lagi: “Cukup untuk hari ini. Bersiaplah untuk besok! Jika ada bom mobil (seperti yang dituduhkan pada kami), kami akan membawa seluruh keluargamu.”
Mereka menutup dengan makian dan kata-kata kotor yang tak pantas aku tulis.
Aku dikembalikan ke sel sempit, seperti liang kubur. Aku bertanya jam, tentara menjawab: jam 02:30 siang. Aku bangkit berwudhu dengan susah payah karena luka di wajah dan tangan. Lalu kubaca Al-Qur’an hingga selesai 15 juz. Hati jadi tenang. Aku tidur nyenyak malam itu, bermimpi bebas dan bahagia.
Tapi saat membuka mata, aku tetap berada di ruang gelap yang mengerikan itu.
Aku lapar. Di dekat kepalaku ada dua buah apel. Setelah memakannya, aku terjaga sampai azan Subuh. Seusai shalat, aku kembali membaca Al-Qur’an.
Tiba-tiba pintu diketuk. Seorang tentara berkata: “Hei tahanan, bersiaplah”
Hari itu, sekali lagi aku dibawa ke hadapan wajah-wajah yang sama seperti kemarin. Kali ini mereka tertawa dan berkata: “Apakah kamu tahu apa hukumanmu hari ini?”
Aku menjawab: “Aku tidak tahu apa rencana kalian!?”
Mereka melanjutkan dengan berkata: “Rencana kami adalah: jika seseorang setelah dipukuli tetap tidak mau mengakui kejahatannya, maka kami akan memasukkan botol ke dalam duburnya.”
Mungkin ceritaku ini lebih bisa dipahami dengan jelas oleh orang-orang yang pernah diinterogasi di Baghram. Aku berkata pada mereka: “Kalian benar-benar tidak tahu malu. Bahkan ada seorang perwira yang sebelumnya memperkenalkan dirinya sebagai seorang ulama. Maka aku berkata kepadanya: Apakah ilmu agamamu mengajarkanmu perbuatan seperti ini?”
Api kemarahan menyala di hatiku. Aku berkata dalam hati: Mungkin musuh-musuh kemanusiaan ini benar-benar akan melakukan apa yang mereka katakan! Karena kami sudah sering mendengar kisah-kisah semacam itu sebelumnya, dan memang tidak ada lagi harapan dari orang-orang yang begitu keji. Karena itu aku berkata lagi kepada mereka: “Sebagai orang Afganistan, seharusnya kalian tidak melakukan hal-hal seperti ini. Mengapa kalian menanamkan kebencian?”
Para perwira itu saling berpandangan, lalu mereka meledak tertawa seperti orang mabuk yang bingung, sambil berkata: “Kamu mulai memberikan ceramah pada kami. Sepertinya kau sudah siap untuk menjalani ‘rencana botol’ ini.”
Aku benar-benar muak melihat wajah-wajah mereka. Kalau aku tidak mengakui “kejahatanku”, mungkin mereka benar-benar akan melakukannya. Akhirnya aku mengaku bahwa aku adalah seorang mujahid; aku sudah lelah dengan omongan busuk musuh-musuh kemanusiaan itu.
Setelah itu mereka mulai menyiksaku secara psikologis; mereka menganggap memaki Allah Ta’ala dan menantang-Nya adalah hal biasa. Mereka mengejek kami: “Kalian ini katanya berperang di jalan Allah, biar Tuhan kalian menyelamatkan kalian dari tangan kami!” (na‘ūdzu billāh).
Aku berkata dalam hati: Mungkin Allah membawa kami ke sini untuk menguji kami; setelah ujian ini dan diterimanya taubat, kalian akan melihat kebebasan kami, kalian akan melihat bagaimana kami dibebaskan.
Mereka sibuk dengan berkas-berkas, ternyata mereka sudah menyiapkan fileku sejak lama. Tinggal mengambil sidik jariku saja, lalu mereka membawaku kembali ke sel isolasi.
Aku menghabiskan hampir tiga bulan di sel isolasi. Di sel itu ada dua tim sipir; satu bertugas dari pagi sampai sore, dan tim lainnya dari sore sampai pagi. Penjara Baghram dibangun seperti kuburan, dan sebagian besar suasananya dari “kubur menuju padang mahsyar” benar-benar mirip alam barzakh. Dalam hadits Nabi ﷺ disebutkan bahwa seorang Muslim yang shaleh akan didatangi malaikat dengan wajah yang indah, sementara yang buruk amalnya akan didatangi malaikat azab dengan rupa yang sangat mengerikan. Begitu pula para petugas interogasi di sini, kadang mereka datang memakai topeng yang menakutkan sekali, lalu menginterogasi kami di ruang yang bentuknya seperti kubur. Kadang-kadang kami mendengar rintihan para tahanan dari sel-sel sekitar.
Setelah interogasi selesai, tangan kami diborgol lalu kami dibawa ke pengadilan. Jika pengadilan memutuskan bebas, maka mereka menyerahkan surat bebas itu ke tangan kananmu. Tapi jika kau seorang mujahid, maka mereka menyerahkan berkasmu ke tangan kiri, yang artinya kau harus tahu bahwa “latihan menuju neraka” akan segera dimulai, kisah hidupmu berakhir di sini, dan semua mimpimu hancur. Kamu akan sadar bahwa mengharap kebebasan selama sisa hidupmu hanyalah mimpi. Kalau vonisnya 15 tahun penjara, apakah seorang manusia masih bisa berharap kebebasan dari selain Allah Ta’ala?
Aku duduk di sel, menunggu keputusan pengadilan. Seorang sipir memanggil: “Tahanan kamar dua belas! Tahanan kamar dua belas!”
Aku menjawab: “Tunggu sampai aku selesai tilawah.”
Selesai membaca, aku mendengar suara borgol. Aku bertanya pada sipir: “Ada apa?”
Ia menjawab: “Aku akan membawamu keluar untuk berjemur, tidak mau keluar?”
Sudah sekitar satu bulan setengah aku tidak keluar sel. Ketika sinar matahari mengenai dinding beton, mataku langsung silau, sampai aku terpaksa duduk. Sipir bertanya: “Kenapa kau duduk?” Aku jawab: “Aku tidak bisa menatap tembok itu.”
Kukuku sudah panjang, maka ia membawakan gunting kuku untuk memotongnya.
Lalu aku dibawa ke kamar mandi. Pakaian yang kupakai, selain berlumuran darah, juga menempel di tubuhku. Mungkin pakaian itu sebelumnya juga pernah dipakai tahanan lain.
Sipir bertanya: “Apakah kau seorang penghafal Al-Qur’an?”
Aku menjawab: “Ya!”
Setelah bertanya beberapa hal tentang Al-Qur’an dan kujawab, ia berkata: “Aku akan membawakanmu pakaian bersih.”
Aku merasa seperti meraih kebebasan ketika mengenakan pakaian bersih. Pakaian penjara itu benar-benar membuatku tidak nyaman.
Akhirnya, aku keluar dari sel isolasi yang mengerikan itu. Aku dipindahkan ke sel besar.
Di sel besar, kami menuntut hak untuk berbicara dengan keluarga kami sekali saja, agar mereka tahu kami masih hidup. Tapi permintaan itu ditolak.
Tiga hari penuh kami mogok makan, baru kemudian mereka membawa telepon, tapi hanya memberi kesempatan dua menit untuk berbicara dengan keluarga.
Kisah-kisah Keteguhan Para Mujahidin
Ketika akhirnya kami diberi kesempatan menelepon keluarga, ada seorang mujahid lain duduk di sampingku. Karena jarak kami dekat, aku bisa mendengar apa yang ia bicarakan.
Ia sedang berbicara dengan ibunya, suaranya penuh penderitaan. Ia berkata:
“Ibu! Istriku sekarang sudah jadi janda. Maksudku, aku sudah menceraikannya, karena mereka telah merenggut kelelakianku dengan cara dikebiri. Aku izinkan istriku menikah dengan siapa saja yang ia mau, aku sudah mentalaknya tiga kali.”
Aku mendengar suara-suara perempuan di ujung telepon. Ketika mendengar suara itu, mujahid itu langsung pecah tangisnya. Mujahid yang tidak pernah gentar menghadapi kengerian sel gelap itu, ternyata tidak kuasa menahan tangis ketika mendengar rintihan ibunya dan istrinya. Itu benar-benar pemandangan yang menyayat hati dan aneh! Aku berkata dalam hati: Aku harus bertemu dengan mujahid ini dan menanyakan kisahnya. Tapi ketika aku menoleh, ia sudah pergi.
Aku sendiri berhasil menelpon keluargaku dan menenangkan mereka tentang keadaanku. Ketika saudaraku menyerahkan telepon kepada ibuku, aku mendengar suara tangisnya. Aku hanya sempat berpamitan dengan saudaraku, tanpa berbicara dengan ibuku. Aku hanya bisa berkata: “Kita akan bicara lagi nanti.”
Aku kembali ke sel. Keseharian ku seperti biasa, malam dan siang. Suatu hari, ketika aku tertidur, seorang sipir berdiri di depan jendela selku dan memanggil namaku. Ia membangunkanku, lalu membelengguku dengan rantai dan membawaku ke pengadilan.
Di sana, tiga hakim duduk di kursi. Mereka terang-terangan meminta agar kami menghubungi keluarga kami untuk mengirim uang, kalau ingin bebas.
Jelas sekali mereka meminta suap. Kami menjelaskan bahwa kami tidak punya kemampuan finansial. Tapi mereka tidak peduli.
Setelah keluar dari ruang sidang, datanglah komandan berkata: “Kamu divonis 15 tahun penjara. Kamu setuju?”
Aku menjawab: “Kenyataannya, yang ada di tangan para hakim bukanlah pena, tapi palu pemecah batu.”
Aku kembali melangkah berat menuju selku. Dalam perjalanan, aku menabrak beberapa tempat sampai kakiku terluka di dua bagian.
Setibanya di sel, semua temanku datang bertanya: “Bagaimana pengadilanmu? Berapa tahun hukumannya?”
Aku menjawab dengan yakin: “Aku divonis 15 tahun penjara.”
Mereka pun segera menenangkanku dengan berbagai cara.
Saat itu seorang bernama Mawlawi Ibrahim –asalnya dari Ghazni tapi tinggal di Paktiya– menggenggam tanganku. Ia berkata: “Wahai Syaikh! Jangan khawatir. Aku malah divonis 17 tahun. Aku tidak punya siapa pun yang mengurus anak-anakku. Aku punya dua anak laki-laki, yang satu berumur 7 tahun dan satunya 5 tahun. Malam ketika rumahku digerebek, mereka berdiri di depanku. Mereka menembakkan pistol ke kepala anak-anakku, otak mereka hancur, dan mereka roboh di hadapanku seperti burung-burung kecil. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka menyeretku keluar rumah. Istriku berlari memeluk tubuh anak-anaknya sambil menangis.
Aku masih terbayang ketika anak-anakku merangkulku erat-erat, sambil memohon: Jangan bawa ayah kami pergi! Tapi mereka tidak tahu bahwa para tentara itu datang bukan hanya untuk menculik ayahnya, tapi juga untuk merenggut nyawa mereka. Dalam beberapa menit saja, ruh mereka yang polos sudah terbang di hadapanku.”
Hal itu benar-benar melukai hatiku, rasanya jantungku sudah sampai ke kerongkongan. Walaupun ia sedang berusaha menghiburku, namun air mata tetap membasahi pipinya. Ia menyekanya dengan lengan bajunya, sebab di Baghram kami tidak punya sapu tangan atau kain untuk menghapus air mata. Lalu ia tersenyum dan berkata: “Aku menangis karena aku berpikir, bagaimana jika Allah murka kepada kita meskipun kita sudah menanggung semua kesulitan ini, apa yang bisa kita lakukan?”
Aku berdiri di hadapannya seperti jasad tak bernyawa di depan manusia agung itu.
Kemudian kami mendengar suara azan, lalu bangkit bersama untuk shalat Isya. Setelah shalat, datang seorang lain menghampiriku untuk menghibur: “Jangan khawatir! Aku juga divonis 16 tahun penjara. Aku sama sekali tidak cemas. Allah akan memudahkan urusan kita. Aku sudah menghabiskan 8 tahun sejauh ini, dan kini imanku jauh lebih kuat daripada sebelumnya. Rumahku hancur dibombardir pada malam penangkapan. Ibuku hancur berkeping-keping terkena mortir. Aku tidak melihatnya saat hidup maupun setelah wafatnya, bahkan tidak bisa menyalati jenazahnya. Semua mimpiku, harapanku, dan manisnya kehidupan telah direnggut.”
Aku menarik napas panjang dan berkata: “Tidak mengapa, Allah telah menjamu ibumu di surga.”
Kemudian aku menjauh, duduk sendirian, dan mulai membaca Al-Qur’an. Baru sekitar 15 menit membaca, seorang mujahid lain dari provinsi Ghazni duduk di sampingku sambil berkata: “Wahai Syaikh! Jangan cemas.”
Aku menutup mushaf seraya menjawab: “Tidak wahai saudaraku! Kenapa aku harus cemas jika aku bersama sahabat-sahabat seperti kalian?”
Ia lalu berkata: “Kalau engkau selesai tilawah, mari kita berolahraga setelah Ashar.” Aku mengangguk menyetujuinya.
Ia kemudian menjadi temanku yang paling dekat dibandingkan para tahanan lain. Suatu hari ia berkata: “Aku ingin menceritakan sebuah kisah untuk menghiburmu; engkau tidak bisa mendapatkan agama ini secara cuma-cuma. Anggap saja penjara Baghram ini sebagai sumber kebanggaan bagi kalian. Saat aku ditangkap, mereka juga membawa serta ibuku dan adikku yang masih kecil. Baru saja kudengar kabar bahwa ibuku dibebaskan, tetapi adikku masih ditahan di markas komando 40! Ketika mendengar itu, kerongkonganku kering seketika. Ia menggenggam tanganku lalu menangis sambil berkata: ‘Allah sajalah yang tahu penderitaan apa yang dialami adikku saat ini!’”
Sungguh itu adalah ujian berat. Aku berpikir dalam-dalam: cobaan macam apa yang menimpa umat ini!? Ia lalu menggandeng tanganku dan berkata: “Ayo, kita berolahraga.”
Meskipun aku ikut bergerak, tetapi hatiku patah. Aku terus membayangkan nasib si adik kecil itu: siapa yang menginterogasinya, apa yang akan mereka katakan padanya? Bagaimana ia duduk dengan mata berlinang, tangan terikat, penuh kelemahan dan kehinaan di hadapan perwira. Seharian aku memikirkan gadis lemah itu dan membayangkan berbagai peristiwa buruk di benakku! Mereka yang mengaku membela hak asasi manusia telah membunuh 2 anak kecil di hadapan kedua orang tuanya dengan senjata api, lalu menyeret 2 wanita tak berdosa dan melemparkan mereka ke hadapan para “binatang berbentuk manusia”!
Kami tidak lelah dan tidak akan lelah
Waktu terasa berjalan sangat lambat. Salah satu teman kami di sel, seorang dari provinsi Herat, jatuh sakit. Ia sudah enam tahun dipenjara. Pemuda itu tampak kehilangan masa mudanya, kedua matanya yang dulu besar makin hari makin mengecil karena sakit, wajah tampannya kering kerontang, laksana pohon di padang pasir yang kehilangan air, daunnya luruh ditiup angin musim gugur.
Kami memohon kepada komandan agar ia dibawa ke klinik kesehatan, namun tak digubris. Beberapa teman menjahit mulut mereka sebagai protes, dan kami semua berhenti makan. Tapi pihak penjara justru makin keras. Hingga akhirnya, teman kami itu pingsan. Dokter datang lalu membawanya ke klinik. Ketika ia kembali, ternyata mereka hanya memberinya sebutir obat penenang. Tak lama kemudian rasa sakitnya kambuh lagi, ia menjerit kesakitan di bahu dan kepalanya.
Kami pun bentrok dengan para penjaga. Kami dari dalam sel, mereka dari luar. Mereka lalu mengarahkan selang air ke arah kami, tubuh kami basah kuyup di musim dingin, namun kami tidak menyerah. Lalu mereka mengarahkan selang itu ke mushaf-mushaf kami sambil berkata: “Berhenti atau kami akan membasahi semua kitab dan Al-Qur’an kalian!”
Dalam hati kami berkata: “Mereka juga muslim, pasti tidak akan melakukan itu.” Tetapi ternyata mereka lakukan juga, hingga mushaf-mushaf kami basah, dan perselisihan itu pun berakhir!
Ketika melihat pemandangan itu, kami menangis dan berdoa: “Ya Allah! Al-Qur’an-Mu dibasahi air, dilempar ke dalam kotoran. Ya Allah! Lepaskanlah kami dari kelemahan ini.”
Tak lama, seorang penjaga mencatat nomor si sakit. Setelah itu ia dibawa dengan mobil, dan menurut komandan ia akan dipindahkan ke RS Wazir Akbar Khan. Namun setelah ia keluar, kami tak pernah melihat Khairullah Jan lagi dalam keadaan hidup. Ia menghembuskan napas terakhir di jalan. Enam tahun masa mudanya ia habiskan di penjara, terampas dari nikmat kebebasan, dan akhirnya mati di dalam penjara.
Betapa hancur hati seorang ibu yang menanti putranya pulang bertahun-tahun untuk bertemu dalam keadaan bebas, namun yang datang hanyalah keranda berisi jasad dingin anaknya. Saudari-saudarinya pun pasti meratap pilu layaknya burung-burung di sekitar tubuh saudaranya.
Hidup di penjara itu adalah kehidupan yang tiada gairah, tiada harapan, bahkan tidak juga dalam urusan hidup atau mati! Setiap kali seorang teman dipindahkan dari satu sel ke sel lain, hari itu menjadi hari di mana jantung-jantung seakan meloncat ke kerongkongan. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi.
Waktu pun terus berjalan. Negosiasi antara Imarah Islam Afghanistan mulai berlangsung. Sidik jari biometrik mulai dilakukan terhadap orang-orang yang masuk dalam daftar 5.000 orang. Dua tentara Amerika duduk bersama ketika itu. Salah seorang sahabat kami yang bercita-cita syahid berkata kepada tentara Amerika yang sedang mengambil sidik jari biometriknya: "Kenapa kalian melakukan sidik jari biometrik?"
Orang Amerika itu menjawab: “Untuk membebaskan kalian. Kalian lelah, kami pun lelah!”
Seorang mujahid yang bercita-cita syahid berkata: “Kami tidak lelah, dan tidak akan pernah lelah meski kami harus tetap di penjara 10 tahun lagi mulai sekarang.”
Orang Amerika itu terheran: “Sekarang sudah ada kesepakatan bahwa kami akan membebaskan kalian.”
Setahun kemudian, proses pembebasan para tahanan mulai berlangsung secara nyata. Saat itu kami sedang melaksanakan shalat Dzuhur berjamaah, tiba-tiba mereka memanggil tiga nomor tahanan dan berkata: “Bersiaplah, kalian akan dibebaskan.”
Saat kami mengucap salam, terdengar sorak-sorai kegembiraan dari segala penjuru. Kami memukul-mukul ketiga tahanan yang akan dibebaskan itu, bukan karena benci, tapi sebagai ungkapan cinta dan kasih sayang. Ketika kami hendak shalat Isya, diumumkan lagi dua nama lainnya. Kami sangat gembira. Setiap tahanan berharap namanya akan diumumkan.
Hari itu adalah hari ketiga Idul Fitri. Aku berpuasa tanpa sempat sahur. Percayalah, aku bahkan tidak menyadari sedang berpuasa karena rasa bahagia yang meluap-luap. Sekitar setengah jam sebelum maghrib, seorang tentara datang dan memanggil nomorku. Teman-temanku melonjak bahagia, sementara aku justru merasa sedih, sambil berkata dalam hati: “Bagaimana nasib teman-temanku yang lain?”
Bagaimanapun juga, aku keluar dari sel, tanpa borgol maupun rantai! Padahal inilah jalan yang dulu sering kulewati dengan mata tertutup dan kaki diseret. Namun kali ini, alhamdulillah, aku keluar dengan tangan terbuka. Lorong di luar gedung penuh dengan tahanan lain. Terdengar gema takbir di mana-mana. Kami menunaikan shalat Maghrib bersama. Kami bertemu banyak kawan, dan kami tak pernah membayangkan akan merasakan kebebasan. Kami lalu naik ke mobil Kaster, dan sekitar pukul satu malam kami diturunkan di persimpangan Abdul Haq.
Paman sudah datang menjemputku. Kami sampai di rumah tepat waktu shalat Jumat. Seluruh keluarga tidak tidur semalaman. Ibuku begitu bahagia hingga menaburkan bunga ke leherku saat melihatku, lalu melingkarkan tangannya di leherku, dan pelukan itu jelas seribu kali lebih indah dari bunga mana pun. Itulah rasa bahagia yang aneh—hangatnya kasih seorang ibu.
Runtuhnya Penjara
Tengah malam aku tidak bisa tidur karena ketakutan akan adanya penggerebekan malam. Maka aku pergi ke rumah seseorang yang jauh dari rumahku sendiri, tempat yang tak disangka ada mujahidin di sana. Aku sering menginap di sana pada malam hari, lalu kembali ke rumah saat pagi.
Kemudian rangkaian kejatuhan republik pun dimulai. Beberapa provinsi dibebaskan satu per satu. Sekitar pukul 12 malam, komandan militer di wilayah kami menelepon dan berkata: “Kami berniat menyerang pangkalan militer Baghram.” Aku mengambil tasku dan bergabung dengan komandanku. Kami berdiri sekitar satu kilometer dari pangkalan Baghram. Jumlah kami kurang dari 20 orang, tapi kami ingin mengakhiri tragedi besar Baghram. Namun kemudian datang perintah pembatalan operasi malam itu, dan ditunda hingga pagi.
Selepas sahur, para panglima perang di sekitar Baghram menyerah. Para komandan Imarah Islam memerintahkan agar menunggu hingga pukul dua siang, seraya berkata: “Mereka akan keluar sendiri.”
Tetapi pesan itu tidak sampai kepada semua mujahidin, sehingga sebagian sudah mendekat ke gerbang ketiga dan keempat Baghram. Para tentara dari Angkatan Darat Nasional menyerah, dan di antara mereka ada orang-orang yang dulu telah menyiksa kami di penjara. Namun kami berpaling dari mereka dan membiarkan mereka pergi.
Tiba-tiba pesawat mulai membombardir kami, menjatuhkan bom di dua tempat, hingga banyak tahanan gugur syahid. Puluhan mujahidin juga menyusul ke kafilah syuhada. Ketika kami mendatangi lokasi para syuhada, kami dapati kepala mereka ada yang terpisah atau terbelah dua, dan api menyala di jasad-jasad mereka. Kami tidak sanggup memadamkan api di tubuh seorang sahabat yang gugur syahid.
Tubuh salah seorang teman kami terbakar hangus, aroma daging manusia terbakar memenuhi udara, sementara yang terluka menjerit kesakitan. Tak jauh dari kami, seorang tentara dari Angkatan Darat Nasional merintih. Ketika aku mendekat, teleponnya berdering. Aku menjawab, terdengar suara ibunya panik bertanya: “Nak! Kau baik-baik saja?”
Aku menjawab: “Ia baik-baik saja.”
Lalu aku katakan agar mereka datang ke gerbang ketiga Baghram untuk menjemput putranya. Tentara itu menatapku putus asa. Kami menyerahkan dia kepada salah seorang kawan untuk merawatnya hingga ibunya tiba. Tapi maut lebih cepat mendahuluinya. Saat ibunya sampai, ia langsung memeluk putranya yang berlumuran darah sambil menjerit, sementara ayahnya yang beruban pingsan. Kami menyediakan mobil bagi mereka agar bisa membawa jenazah putranya, sementara kawan-kawan kami yang terluka sangat kehausan.
Ketika kami hendak memberi air kepada satu yang terluka, suara rintihan yang lain tiba-tiba berhenti selamanya—ia tertidur untuk selamanya.
Tak lama, kawan-kawan kami dari penjara memberi kabar bahwa mereka berhasil keluar. Para tahanan berbondong-bondong meninggalkan penjara, ada yang berkelompok, ada yang sendirian.
Kemenangan besar ini benar-benar penuh darah bagi kami, karena sahabat-sahabat terdekat kami gugur syahid. Saat aku tiba di desa, di pemakaman terdapat banyak jenazah syuhada yang tidak dikenal keluarganya. Tidak jelas siapa mereka, sebab mereka hanyalah jasad tanpa kepala.
Kelelahan mengalahkan tubuhku yang sudah rapuh. Aku tertidur dengan pikiran yang dipenuhi wajah sahabat-sahabatku. Saat pagi, aku pergi ke pemakaman dan melihatnya penuh dengan perempuan. Jeritan dan tangisan mereka memilukan. Setiap saudari duduk di sisi kepala saudaranya yang syahid, sementara sang ibu tergeletak pingsan di atas kuburnya. Aku tidak sanggup menahan diri dan pergi lagi ke penjara Baghram. Karena aku sudah sangat mengenalnya, aku berkata pada diriku: “Mungkin ada tahanan yang tertinggal dan tidak mampu keluar, aku harus menolongnya!”
Ternyata dugaanku benar. Pada hari kedua, aku berhasil membantu dua orang tahanan lagi untuk keluar dari penjara.
Majalah Ash Shumud, Imarah Islam Afghanistan, Edisi 217, Rajab 1445.
https://www.alsomood.af/%d8%b0%d9%83%d8%b1%d9%8a%d8%a7%d8%aa-%d8%a3%d8%b3%d9%8a%d8%b1-%d9%81%d9%8a-%d8%a8%d8%a7%d8%ba%d8%b1%d8%a7%d9%85/
Simak video liputan Penjara Kejam Baghram tahun 2021, setelah Tentara Amerika kabur dengan penuh kehinaan:
Ini video liputan Penjara Kejam Baghram tahun 2014 ketika masih aktif:
COMMENTS