Hanya beberapa langkah dari laut, Kamp Syathi‘ berdiri terjepit antara deru ombak dan dengung pesawat tempur. Kamp yang luasnya tak lebih da...
Hanya beberapa langkah dari laut, Kamp Syathi‘ berdiri terjepit antara deru ombak dan dengung pesawat tempur. Kamp yang luasnya tak lebih dari setengah kilometer persegi ini, dalam beberapa hari terakhir berubah menjadi tempat perlindungan darurat bagi puluhan ribu pengungsi yang melarikan diri dari wilayah utara dan pinggiran kota Gaza akibat gempuran serangan udara israel.
Namun ruang yang sempit itu sudah tak lagi menampung. Rumah-rumah rapuh penuh sesak, halaman-halaman kecil dijejali tenda-tenda, sementara pesawat tempur Israel terus melakukan serangan berkali-kali, seakan-akan pesannya jelas: tidak ada tempat aman di sini.
Di gang-gang sempit, wajah-wajah menceritakan kisah kamp ini: perempuan-perempuan menggendong anak mereka sambil mencari setetes air, laki-laki berdiri dalam antrean panjang menunggu seikat roti atau sekantong tepung, dan anak-anak berusaha bermain di antara reruntuhan untuk melarikan diri dari suara ledakan.
Abu Muhammad, seorang pengungsi berusia enam puluh tahun yang pindah dari Beit Lahiya ke kamp ini, mengatakan kepada koresponden Pusat Informasi Palestina: “Kami kira pantai akan menjadi tempat aman terakhir kami, tetapi ternyata berubah menjadi medan perang. Ke mana kami harus pergi? Laut di depan kami, dan penjajah di belakang kami.”
Pada hari Kamis (11 September), gempuran pesawat tempur Israel bertubi-tubi menimpa kamp, menghantam dan menghancurkan sedikitnya 15 rumah. Meski perintah evakuasi telah dikeluarkan untuk banyak lembaga, warga tetap turun ke jalan berseru: “Kami akan tetap tinggal, kami tidak akan pergi.”
Ingatan Nakbah yang Terus Berlanjut
Kamp ini bukanlah sesuatu yang baru bagi penderitaan. Ia lahir dari rahim Nakbah tahun 1949, ketika didirikan tenda-tenda pertamanya untuk menampung 23 ribu pengungsi yang diusir dari desa-desa pesisir Palestina, dari Yafa hingga al-Majdal, dan dari Ludd hingga Ramla.
Seiring berlalunya tahun ke tahun, tenda-tenda itu berubah menjadi rumah-rumah dari seng, lalu menjadi bangunan dari batu bata dan semen. Namun kamp ini tetap menjadi saksi atas pengusiran paksa yang terus berlanjut, dan memori yang sarat dengan kisah kepergian.
Kamp yang Padat
Hari ini, lebih dari 47 ribu jiwa tinggal di kamp ini menurut catatan tahun 2023, sementara UNRWA menyebutkan bahwa penduduknya yang terdaftar di lembaga itu melebihi 91 ribu orang, menjadikannya kamp paling padat di Gaza.
Ke-25 sekolah UNRWA kini berfungsi sebagai tempat perlindungan darurat bagi para pengungsi, sementara satu-satunya rumah sakit dan pusat-pusat kesehatan yang ada kewalahan menghadapi ribuan kasus setiap hari, di tengah pemadaman listrik total dan kekurangan obat-obatan.
Rahim Para Pemimpin dan Perlawanan
Namun kamp ini bukan sekadar rumah-rumah sempit dan gang-gang yang penuh sesak. Ia juga merupakan rahim para pemimpin Palestina yang membentuk sebagian besar sejarah politik dan perjuangan bersenjata.
Dari sinilah lahir Syaikh Ahmad Yasin, pendiri Gerakan Hamas; Ismail Haniyah, kepala biro politiknya; Adnan al-Ghoul, “insinyur roket al-Qassam”; dan Shalah Syahadah, yang dibunuh oleh pesawat penjajah dengan rudal besar yang menewaskan puluhan syuhada dalam pembantaian di Distrik ad-Daraj.
Kamp ini juga menjadi tempat lahir komandan pertama Saraya al-Quds, Muhammad al-Khawajah, dan Abu Yusuf al-Qawqa, pendiri Brigade an-Nashr Salahuddin.
Karena itulah, kamp ini senantiasa menjadi target serangan dan pembunuhan, sebagaimana terjadi pada perang tahun 2008 dan 2014, hingga agresi terakhir yang mengikuti operasi “Thufan al-Aqsha” pada Oktober 2023, ketika serangan udara semakin intens menimpa kamp dan lingkungannya, menewaskan ratusan orang antara syahid dan luka, sementara keluarga-keluarga menguburkan anak-anak mereka di kuburan massal atau terkubur di antara reruntuhan.
Blokade dan Kemiskinan
Kamp ini berada di bawah pengawasan UNRWA, yang mengelola sekolah, pusat kesehatan, dan layanan sosial di dalamnya. Namun semua fasilitas ini tidak lagi memadai di tengah kepadatan penduduk yang terus meningkat.
Tahun-tahun panjang blokade telah melahirkan pengangguran tinggi, kemiskinan parah, kelangkaan bahan bangunan, selain tercemarnya air dan pembatasan aktivitas nelayan meski kamp berada dekat pesisir.
Agresi terakhir pun menambah parah krisis-krisis ini, pada saat puluhan ribu pengungsi menumpuk di dalamnya.
Anak-Anak di Antara Reruntuhan
Namun di balik semua itu, gang-gang kamp tidak kehilangan rohnya. Pada sore hari, ketika suara serangan agak mereda, sekelompok anak berkumpul di sekitar sisa api yang dinyalakan orang dewasa untuk memasak makanan seadanya. Mereka tersenyum meski dalam kelaparan dan ketakutan, seolah hendak menegaskan bahwa kamp ini, yang telah hidup lebih dari 70 tahun di bawah blokade, pendudukan, dan keterbatasan, masih mampu bertahan hidup.
Saksi atas 70 Tahun Pengusiran dan Keteguhan
Hari ini, Kamp Syathi bukan sekadar titik di peta Gaza. Ia adalah kisah yang merangkum perjalanan orang Palestina: dari Nakbah menuju pengungsian baru, dari tenda ke reruntuhan, dari kehilangan tanah air menuju pencarian tanpa henti akan tempat berlindung.
Dan sementara pendudukan terus berupaya mencabut orang-orang dari tanah mereka, kamp ini tetap menjadi saksi atas satu kalimat yang diwariskan penduduknya dari generasi ke generasi:
“Di sini kami akan tetap tinggal, betapapun sempitnya laut dan sempitnya bumi.”
Pusat Informasi Palestina:
12 September 2025
https://palinfo.com/news/2025/09/12/973023/
COMMENTS