Bagaimana bisa pusat moderasi beragama mendukung terorisme? DR. Ofir Winter (Peneliti senior di The Institute for National Security Studie...
Bagaimana bisa pusat moderasi beragama mendukung terorisme? DR. Ofir Winter (Peneliti senior di The Institute for National Security Studies) DR. Michael Barak (Peneliti senior di International Institute of Counterterrorism) https://www.inss.org.il/publication/al-azhar/ Sejak serangan yang dilakukan Hamas kepada Israel pada 7 Oktober, tidak nampak ada penolakan khususnya dari tokoh-tokoh agama di dunia Arab dan Islam. Yang lebih menyedihkan lagi, tidak adanya penolakan dari Al Azhar di Mesir; sebagai lembaga agama sunni yang tua dan ternama serta berdasarkan perundangan Mesir ia berhak mendapatkan anggaran dari negara ditambah dukungan dana dari Negara Emirat Arab. Lembaga yang oleh Mesir dibanggakan sebagai mercusuar toleransi beragama dan pembawa panji ideologi yang memerangi radikalisme Islam, ternyata mendukung terorisme. Sejak terjadinya perang, Al Azhar menyuarakan gerakan yang menarget provokasi opini umum di dunia Arab dan Islam untuk berhadapan dengan Israel dan para pendukungnya di barat. Dan dalam keadaan yang tidak stabil seperti ini, maka Israel, Mesir dan para tokoh berpengaruh di berbagai negara dan regional, agar bertindak dengan cepat dan terencana untuk menghentikan pernyataan berbahaya tersebut. Sesungguhnya Al Azhar adalah lembaga Islam tua yang berdiri di Kairo pada tahun 998 M sebagai universitas yang mempelajari Islam. Selanjutnya dipimpin oleh Presiden Mesir Jamal Abdun Nashir pada tahun 1961 dan Al Azhar diletakkan di bawah kekuasaan pemerintah Mesir. Sejak itu, ia menjadi alat untuk legalisasi agama berdasarkan peraturan yang berubah-ubah di Mesir untuk kemudian dipublikasikan di dalam dan luar; termasuk pembahasan tentang hubungan dengan Israel. Di kesempatan yang sama, Al Azhar diberi kebebasan oleh negara di beberapa bidang, khususnya dalam hal agama dan sosial.
Universitas Al Azhar adalah salah satu universitas terbesar di dunia. Di mana ada sekitar setengah juga mahasiswa yang belajar di sana; di antara mereka ada puluhan ribu pelajar asing. Ia juga mempunyai cabang-cabang di berbagai belahan dunia. Di Mesir, Al Azhar juga mengatur sistim pendidikan untuk sekitar 2 juta murid atau sekitar 10% dari seluruh jumlah pelajar. Sejak Presiden Abdul Fattah As Sisi memimpin, Al Azhar mempunyai risalah bermata dua. Di satu sisi, dia memerangi narasi dan ideologi Ikhwanul Muslimin dan salafi jihadi seperti ISIS dengan dalil bahwa kelompok tersebut menjadi ancaman bagi kestabilan Mesir dan sistim pemerintahannya. Ditambah lagi, Al Azhar berusaha membangun dialog, hidup berdampingan dan toleransi antara muslimin dan kristen di Mesir dan luar Mesir. Dengan pola ini, Al Azhar membentuk dirinya sebagai subyek di bidang agama di dunia internasional dan pemimpin di bidang ideologi berhadapan dengan berbagai kelompok Islam bersenjata, terlepas dari kelompok yang memerangi Israel. Di sisi lain, dalam rentang lebih dari 10 tahun, Al Azhar mendorong terus narasi kebencian untuk Israel dan memberikan persetujuan agama dan akhlak untuk melakukan perlawanan dengan kekerasan melawan Israel. Sebagian narasi berupaya mendukung perlawanan rakyat Palestina melawan yang disebut Al Azhar dengan zionis, belum lagi peringatan tentang rencana Israel yang sebenarnya tidak pernah ada, untuk mengubah Palestina menjadi Yahudi dan penguasaan terhadap Al Aqsha serta membongkar kejahatan Israel terhadap rakyat Palestina di hadapan opini umum Arab dan Internasional. Di waktu terjadinya ketegangan yang terus meningkat antara Israel dan masyarakat Palestina, narasi Al Azhar justru berisi ajakan kepada Arab dan muslimin untuk berdiri membela perlawanan kepada Israel dengan mengeluarkan pernyataan-pernyataan anti semit seperti "Zionis musuh kemanusiaan."
Syekh Ahmad Ath Thayyib, Imam Akbar Al Azhar sejak tahun 2010 merupakan ruh pendorong di balik cara pandang keras terhadap Israel. Dia sering kali mengulang-ulang risalah intinya "Setiap penjajahan akan hilang cepat atau lambat," maksudnya adalah keberadaan Israel bersifat sementara dan akan berakhir pada kehancuran. Dia juga menjaga komunikasi yang terstruktur dan terbuka dengan pimpinan Hamas. Ini berbeda dengan para pemimpin Mesir yang menghindari komunikasi secara langsung dengan kelompok tersebut sejak mereka mengambil kekuasaan di Jalur Gaza dari pemerintah Palestina tahun 2007. Desember 2017, Ismail Haniyyah kepala Biro Politik Hamas memuji Ahmad Ath Thayyib yang menolak untuk bertemu dengan Wakil Presiden Amerika saat itu Mike Pence sebagai protes atas pemindahan Kedutaan Amerika ke Al Quds. Pada Februari 2019, Ahmad Ath Thayyib menyambut utusan dari pembesar Hamas, di antara mereka Ismail Haniyyah dan Shaleh Al 'Aruri yang mengucapkan terimakasih atas berbagai upaya Al Azhar mendukung Palestina. Di pihak Ahmad Ath Thayyib mengungkapkan dengan bodoh bahwa perbedaan di internal menyebabkan muslimin tidak peduli dengan permasalahan Palestina yang dia sebut sebagai "Membantu kepentingan penjajah dan ambisi mereka untuk melenyapkan Palestina." Kampanye Al Azhar Mendukung Hamas
Al Azhar menyebarkan penjelasan tentang penyerangan 7 Oktober yang menyebabkan terbunuhnya 1400 sipil dan tentara dari pihak Israel dan warga asing. Ia berkata: "Mengucapkan selamat dengan penuh bangga, upaya perjuangan yang dilakukan oleh rakyat Palestina." Ia juga menyerukan, "Dukungan terhadap rakyat Palestina yang kuat, yang telah berhasil meniupkan ruh dan iman serta mengembalikan kehidupan untuk kami. 4 hari setelahnya, Ahmad At Thayyib bicara dengan Ismail Haniyyah yang tengah berupaya untuk mendapatkan dukungan Al Azhar untuk mengakhiri yang dia sebut dengan "Invasi Israel terhadap Gaza." Dan Ahmad Ath Thayyib menjawab: "Hati kami bersama kalian, kami bersedih atas pembantaian yang terjadi di Gaza." Sikap Al Azhar ini bukan karena tidak tahu tentang yang dilakukan Hamas terhadap Israel, berupa kejahatan yang terlarang di seluruh penjuru dunia juga di mata para ilmuwan Arab dan muslimin. Sebaliknya terjadi: Pada 18 Oktober Al Azhar mengeluarkan fatwa yang berbunyi: Masyarakat zionis di negeri jajahan tidak berhak disebut sebagai penduduk, karena mereka menjajah negeri, merampas hak, bertentangan dengan jalan para Nabi dan menyerang tempat-tempat bersejarah di Al Quds. Sesungguhnya fatwa Al Azhar tentang tidak adanya penduduk Israel "yang tidak bersalah" menyebabkan bolehnya dilakukan pembunuhan terhadap mereka. 4 hari berikutnya, Al Azhar kembali menyebarkan penjelasan dengan Bahasa Arab, Inggris dan Ibrani dengan judul "Penjajahan sumber segala kejahatan." Dia juga melemparkan pertanyaan-pertanyaan ke hati orang-orang Israel berhubungan dengan 'kejahatan' mereka sepanjang 75 tahun, tapi dia tidak mengkritik sama sekali kelakuan Hamas. Tuduhan-tuduhan yang diarahkan ke Israel mencakup pembunuhan masyarakat sipil secara sporadis, kejahatan perang, pelanggaran peraturan internasional dan radikalisme agama. Dalam keterangan yang diulang-ulang sejak mulai perang, Al Azhar memberikan dukungan agama dan moralitas untuk kelakuan Hamas, mendorong para pengikutnya dari masyarakat Palestina dan Mesir serta di kalangan sunni secara umum, untuk melakukan kekerasan terhadap Israel. Setelah shalat Jumat tanggal 13 dan 27 Oktober, para demonstran keluar dari Masjid Al Azhar sambil berteriak "Dengan ruh dan darah, kami tebus engkau wahai Aqsha" dan "Khaibar Khaibar hai Yahudi, tentara Muhammad akan kembali." Al Azhar juga mengajak dalam fatwanya agar masyarakat Palestina bersatu dalam satu shaf untuk menghadapi penjajah. Dan memotivasi masyarakat Arab dan Islam untuk membantu mereka dengan segala kemampuan yang ada.
Bagaimana kekuasaan di Kairo memandang fatwa Al Azhar?
Sesuai dengan surat kabar Al Arab yang berpusat di London, di masa perang, Pemerintah Mesir memberi Al Azhar kuasa untuk membentuk opini umum Mesir, Arab dan Islam untuk menarget keperluannya. Mantan anggota parlemen Mesir Muhammad Abu Hamid menjelaskan bahwa "Al Azhar berinteraksi dengan permasalahan yang berhubungan dengan keamanan masyarakat Mesir sebagai bagian tak terpisahkan dari negara dan bukan sebagai lembaga terpisah. Maka sudah barang tentu, ia akan bertindak sesuai dengan strategi umum politik resmi dan tak keluar darinya." Dan benar saja, penjelasan pemerintah tentang demonstrasi dari Masjid Al Azhar, juga irisan antara risalah pemerintah dan Al Azhar mengisyaratkan adanya koordinasi antara keduanya. Sebagai contoh, As Sisi mengingatkan tentang pemindahan masyarakat Palestina dari Jalur Gaza ke Sinai akan menyebabkan "penghilangan masalah Palestina" dan memusnahkan ide negara Palestina. Hal yang serupa, Al Azhar menyerukan "masyarakat Palestina agar menjaga negeri mereka" dengan pernyataan: "Lebih baik kalian mati di negeri kalian sebagai ksatria, pahlawan dan syuhada daripada kalian tinggalkan untuk para penjajah yang rakus." "Dan ketahuilah, meninggalkan negeri kalian artinya matinya pembahasan tentang permasalahan Palestina yang merupakan masalah kalian dan masalah kami, dan artinya hilang untuk selamanya." Ditambahkan lagi, para pembicara dari negara dan Al Azhar menyampaikan hal yang serupa tentang kritik mereka kepada negara-negara barat yang mendukung Israel. Sementara pemerintah Mesir mengumumkan konsistensinya terhadap kesepakatan perdamaian dengan Israel, justru Al Azhar mengisyaratkan Israel sebagai 'musuh kejam' dan menyebutnya dengan terus menerus dengan sebutan 'zionis.' Dan seringkali, sikap-sikapnya menampakkan standar ganda dan anti semit. Al Azhar juga pernah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan penangkapan anak-anak, perempuan dan yang melakukannya dihukum mati. Tapi tidak mau mengeluarkan seruan yang semisal tentang anak-anak dan perempuan Israel yang ditangkap Hamas. Selain itu, dengan latar perang, salah satu satu ulama Al Azhar menyerukan pemboikotan perusahaan-perusahaan milik Yahudi dan yang memberi kontribusi kepada Yahudi di mana dia menyebutnya sebagai bangsa pengkhianat. Rekomendasi
Narasi Al Azhar memberikan legalisasi dan juga inspirasi untuk tindak terorisme. Pada 8 Oktober yaitu pada hari kedua pengumuman dukungan Al Azhar untuk serangan Hamas, polisi Mesir menembak mati 3 wisatawan Israel di Alexandria. Kemudian Al Azhar bersegera mengumumkan larangan menyakiti para wisatawan yang berkunjung ke Mesir, tapi ia tidak melakukan penolakan dengan terus terang terhadap kejahatan pembunuhan. Berhubungan dengan mereka yang dibunuh, ini sangat sedikit dan sangat terlambat. Di keadaan yang bahaya ini, Israel menarik para pejabat kedutaannya di Kairo dan memberi peringatan level satu untuk bepergian ke Mesir. Dukungan Al Azhar untuk Hamas menghadirkan kesulitan bagi berbagai pihak Islam yang terpengaruh olehnya untuk menyatakan sikap menolak aktifitas Hamas. Di antara contoh yang paling nyata adalah Negara Emirat yang telah bertahun-tahun mendukung sikap toleransi beragama. Di saat kementrian luar negeri Emirat menolak pembunuhan masyarakat sipil Israel, justru majelis ulama muslimin yang didirikan oleh Emirat mempunyai sikap yang sama dengan Al Azhar dan menyerukan penghentian 'kejahatan Israel'. Sebagaimana sikap ketua majelis fatwa Emirat Abdullah bin Bayyah yang tidak mau menolak serangan Hamas.
Dari sebuah lembaga yang menyebut dirinya sebagai pusat untuk memerangi radikalisme, sangat disayangkan kini Al Azhar menjadi sumber radikalisme. Ia menyebarkan berbagai risalah negatif menggunakan sarana informasi tradisional dan media sosial serta kurikulum sekolah dan akademik. Perlindungan agama dan politik yang diberikan kepada terorisme Palestina yang sangat kejam menyebabkan berbagai keburukan yang besar. Hal ini menyebabkan terjadinya perang agama dan mengancam stabilitas timur tengah. Dan wajib bagi Mesir, Israel dan masyarakat regional dan dunia untuk segera melawan sikap ini melalui hal-hal berikut:
Pertama: Seruan wajib bagi pemerintah Mesir untuk mengendalikan Al Azhar Israel, Amerika dan negara-negara Arab yang toleran seperti Saudi dan Emirat, harus meminta pemerintah Mesir -sebagai sumber utama kekuatan dan pendanaan Al Azhar- untuk bersungguh-sungguh melarang Al Azhar menyebarkan narasi permusuhan, menambahi ketegangan politik dan agama, serta mendorong teori konspirasi. Upaya pemerintah Mesir untuk memeriksa dengan lengkap kebijakannya terhadap Al Azhar juga akan memberikan kebaikan bagi Mesir, sebab radikalisme beragama akan membahayakan pemerintah dan membahayakan visi As Sisi tentang perdamaian, kestabilan dan pertumbuhan di wilayah regional. Langkah perubahan peraturan di Mesir bisa saja membuka peluang untuk pergantian Imam besar Al Azhar. Kedua: Rusak nama baik Al Azhar Bagi Israel, organisasi-organisasi Yahudi dan relasinya di seluruh dunia harus mengangkat kesadaran dunia tentang kegagalan Al Azhar dalam menjalankan tugas yang telah diberikan oleh Mesir untuk memerangi terorisme dan ideologi radikal, justru ia mengeluarkan narasi anti semit, meningkatkan kebencian dan aktifitas terorisme terhadap masyarakat Israel. Sampai kebijakan ini berubah, maka bagi seluruh unsur di regional dan seluruh dunia agar mengupayakan hasil yang diinginkan dari sisi mengkaji ulang hubungannya dengan Al Azhar dan para pimpinannya; berupa mengkaji ulang kemampuan Al Azhar sebagai relasi yang layak dipercaya di bidang dialog antar agama dan dalam memerangi radikalisme beragama, serta memperkuat pengawasan kepada seluruh cabang Al Azhar. Ketiga: Penghentian pendanaan Al Azhar Bagi pihak yang berwenang di Mesir dan wilayah regional serta seluruh dunia yang memberikan pendanaan kepada Mesir termasuk Negara Emirat, harus mengkaji ulang dalam hal bantuan untuk Al Azhar ini, demikian juga bantuan Amerika yang diberikan kepada Mesir untuk memerangi terorisme harus disertakan syarat berupa pengendalian Al Azhar.
Ustadz Budi Ashari
17 November 2023
COMMENTS